"Saya bukan seorang pengecut, resah ketika didepan mata terlihat kemunafikan dan kedzoliman".

Kamis, 19 Juli 2012

Pentas Topeng

Foto Kenangan-Saat Pentas teater
19 - 5 - 1999 Graha Bakti TIM Jakarta Pusat -  Hasyim. A dan Acep S. Martin.
Teater poros Jakarta yang saat itu menjadi pemenang terbaik festival Teater DKI (1999), Tampil Di Graha Bakti Taman Ismail Marzuki Jakarta Pusat, saya bermain sebagai Tokoh Kara (Photo-Kanan), dalam Judul Topeng Karya Ikra Negara. Sosok Kara adalah Jiwa terdalam Dari Sosok Mar-Mar.

Kamis, 12 Juli 2012


BADRUN SANG PEMBERONTAK


MORNING
oleh: Hasyim Ahmadi
SELAMAT PAGI….
Pukul 24.00 Menjelang dini hari, disini orang-orang masih menyibukan diri, sibuk penuh kerumunan pada saat tetangga kampung-kampung disekitar terlelap tertidur pulas, pengap, sumpek, berisik dan penuh sumpah serapah orang-orangnya. Anak-anak dibangunkan oleh keterpaksaan yang merenggut malamnya untuk istirahat. Anak-anak disini membawa penyakit jiwa yang diturunkan oleh orang-orang tua mereka yang menjadi warisan berkala yang diterimanya tanpa Hibah melalui kantor–kantor hukum resmi. Pagi saat kebanyakan orang-orang asik siap untuk beraktifitas dan bekerja, mereka asik terlelap tidup, dan tak ingin diganggu, hari-hari yang melelahkan. Sambil keluar rumah dengan muka masam, tak lupa membawa kemarahan, prilaku jiwa yang aneh dan tak lazim bagi anak seusia Badrun, Umur baru 14 tahun, persoalaan 45 Tahun. Membawa beban rumah tangga , menanggung Ibunya yang mulai sakit-sakitan dan 5 orang adiknya yang masih kecil-kecil dan ditambah Ayahnya yang sangat dibencinya.
Seorang yang pembawaan agak pendiam namun keras kepala, raut wajahnya kasar, tarikan wajahnya menyiratkan semangat ketidakpuasan dan pembangkangan yang keras, jelas dari sorot matanya yang tajam Ia Nampak menolak kehidupan selama ini, Seumur hidupnya, mungkin ketika Ia masih dikandungan, yang diceritakan Ibunya, kalo tangisannya membuat gerah pejabat Pemerintah yang kebetulan pada waktu ini tinggal dan bertetangga dengan almarhum kakeknya, kelahiranya yang hanya ditemani sebatang lilin yang hampir Habis nyala apinya, serta bilik bambu dan Bale yang kini menjadi tempat tidurnya, akte kelahirannya pun dicatat pada kayu dingding pojokan rumahnya, dengan sebatang paku karat, yang telah lama disimpannya, berbekal keterampilan menulis sang Ibunda, berbidankan semangat kuat Ibunya sendiri tanpa ruang layaknya seorang pada zamannya lahir, ditemani temaram lampu lilin, dan semangat untuk merendahkan harga diri pejabat serta dokter, dengan tidak meminjam uang kepada pejabat yang kebetulan tetangga nya sendiri, yang kemudian harinya, ia harus menanggung beban hutangnya berkali kali lipat, berikut bayi yang akan dilahirkan juga menaggung beban akibatnya, ya” beban hutang, Bayi menanggung beban hutang. Berbeda dengan lahirnya seorang pembrontak yang merdeka, terlahir tanpa beban hutang, lahir atas karunia Allah SWT dan semangat untuk menjadi orang yang merdeka. Bayi yang terlahir ditengah huru-hara politik ketika Amir Biki ditembaki oleh Tentara, peristiwa pembangkangan terhadap rezim Soeharto, zaman berubah dari rezim penguasa satu kepenguasa lainnya, penguasa dzolim dan lalim, penguasa yang bertamengkan Demokrasi, yang tak pernah kumengerti binatang apa itu, yang kumengerti hanyalah buas, menginjak, membunuh perlahan tapi pasti dan hingga hari ini demokrasiku, demokrasi menahan lapar, mencari makan lewat cara yang tak halal, mencopet dan menjambret orang-orang berduit. Bahkan harampun kini kukatakn halal, apabila perutku lapar, Ibuku sakit, atupun adik-adikku tak makan, juga kawan-senasibku. Kebencian yang dibidani oleh kesusahan hidup, muak dengan prilaku yang kasar, dan merugikan orang, pahitnya kenyataan membunuh ketegaanku untuk melakukan prilaku haram, atau mati ditelan kerasnya hidup, dizaman Cicak dan Buaya bertengkar, dimasa Bank Century Membobol Uang Negara, Dizaman serba muak negara tetangga reseh, mengklaim Batik, Reog Ponorogo, Tari Pendet, Zaman tak Berwibawa, zamanya ketiak Asing jadi parfum..............bersambung


Rabu, 27 Juni 2012

Ngupi Setelah Kuliah Shubuh

Bersantai, setelah mengikuti kuliah Shubuh,
di Setu Babakan Perkampungan Budaya Betawi
Ciganjur Jakarta Selatan
Hasyim Ahmadi (menggunakan Peci Hitam), Robby Sandjaya(Duduk),
 Ocky Hidayat (Tulak Pinggang), M.Yasien Rosadi

Hasyim Ahmadi (Kemeja Merah Kotak-kotak), Jullian Haromi(Kaos Putih),
Ocky Hidayat(Celana Putih), Arief, Septian Pratama (Berdiri)

Hasyim Ahmadi (Kemeja Merah Kotak-kotak), M.Iqbal, Jullian Haromi(Kaos Putih),
Ocky Hidayat(Celana Putih), Arief menghadap Belakang.